Wacana Ambisius Hilirisasi Nikel

Catch Me Up!
UTC
7 kali dilihat
0 kali dibagikan

When our government's ambition is to clear more forest...


Here comes the disaster.

Again. It's another episode of pemerintah bikin geleng-geleng sama wacana kebijakan lingkungannya. Kalo sesat paham Presiden Prabowo soal deforestasi belum hilang from our heads, now pemerintah nyampein wacana yang lebih ambisius lagi soal hilirisasi nikel.


Ugh. Tell me. 

Alright. Wacana ambisius terkait nikel ini rencananya bakal diwujudin dengan alih fungsi hutan seluas 20 juta hektar (ha). Luas area itu setara sama dua kali luas pulau Jawa, gaes. That's insane! Berdasarkan data Kementerian Kehutanan tertanggal 5 Desember 2024, rencananya area seluas itu bakal dialokasikan buat swasembada energi sama pangan. In the meantime, pemerintah pengen bisa mengurangi ketergantungan impor BBM dan bisa ngembangin bioenergi sendiri. Moreover, pengembangan biodiesel aja udah mendorong terciptanya polemik waktu minyak sawit perannya harus dibagi buat keperluan food vs fuel.


Terus gimana reaksi soal itu?

Of course, wacana ini ditolak sama berbagai pihak, termasuk Aliansi masyarakat sipil yang menilai rencana ini nggak logis secara ekonomis juga ekologis. Menurut Direktur Eksekutif Satya Bumi, Andi Mutaqqien, produksi bahan bakar nabati, seperti sawit perlu perhatiin daya dukung lingkungan, guysRelated to that, Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo, juga bilang kalo wacana pembukaan 20 juta ha berpeluang besar nambahin perluasan wilayah perkebunan sawit. Hal ini disebut bisa mengancam fungsi lahan pertanian buat kebutuhan pangan nasional. FYI, Selama dua periode masa pemerintahan Jokowi, ada alih fungsi lahan seluas 69.856,6 ha/tahun.


Apa efeknya?

Kalo kondisi ini terus dibiarin, sumber lahan pangan nasional yang tersedia bisa terancam di masa depan. Even pemerintah punya kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) buat proteksi lahan pertanian dari alih lahan, nyatanya implementasinya tanda tanya. Gimana nggak? Masih banyak ditemukan kasus alih fungsi lahan pangan yang terjadi atas seizin pemerintah. Dari riset Satya Bumi dan lembaga lain (2024), daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup (D3TKH) sawit Indonesia hanya di angka 18,15 juta ha. While, based on data MapBiomas 2022, saat ini luas perkebunan sawit kita udah ada di angka 17,77 juta.


I see. Go on...

Not only biodiesel, dalam Rancangan Peraturan Pemerintah Kebijakan Energi Nasional terbaru, pemerintah juga mendorong perwujudan biomassa kayu untuk kepentingan ekspor. Whereas, perluasan izin Hutan Tanaman Energi (HTE) untuk ekspor biomassa pelet kayu udah menyebabkan deforestasi hutan alam dan penggusuran masyarakat adat. In relation to that, menurut Manajer Kampanye Bioenergi Trend Asia, Amalya Reza Oktaviani, terjadi deforestasi untuk produksi pelet kayu yang menyasar pasar Korea Selatan dan Jepang di Kalimantan Utara dan Gorontalo. Based on riset Trend Asia, kebutuhan HTE untuk memenuhi kebutuhan nasional 10 juta ton pelet kayu menyebabkan deforestasi sampai 1 juta ha. So, klaim rezim soal alokasi hutan 20 juta ha untuk keperluan pangan dan energi nggak bakal memicu deforestasi itu keliru.


Kalkulasinya gimana?

Okay, based on Data Kementerian Kehutanan tertanggal 5 Desember 2024 menjelaskan dari mana angka 20 juta diperoleh. Ada sebanyak 15,53 juta ha lahan belum berizin, ditambah 5,07 juta ha yang berizin. Kalo Menteri Kehutanan, Raja Juli, bakal mengalokasikan 15,53 juta ha kawasan hutan belum berizin jadi cadangan pangan dan energi, berarti perlu rilis banyak perizinan baru. Kalo wacana program dan kebijakan baru ini sebenarnya kamuflase buat menerbitkan izin baru, Kementerian Kehutanan perlu berbenah lagi.


Apa dampaknya ke lingkungan?

Menurut Koordinator Nasional Pantau Gambut, Lola Abas, rencana alokasi 20 juta ha untuk sawit punya potensi memicu bencana ekologis. From 3,3 juta ha lahan yang akan diputihkan, 407.267 ha masuk ke Kesatuan Hidrologis Gambut dengan 84% ada di fungsi lindung. Sejak 2015-2022, data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), nunjukkin kalo 90% bencana yang terjadi adalah bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, juga cuaca ekstrem. Because of this environmental disaster, WALHI pada 2023 mencatat ada 10.191 korban meninggal dunia dan hilang antara tahun 2015-2022.


Berapa besar kerugian negara?

It's a huge loss, guys. Setidaknya sejak 2015-2022, negara menanggung kerugian sampai Rp101,2 triliun. Menurut Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, Uli Arta Siagian, kalo rencana pembukaan hutan seluas 20 juta ha buat pangan dan energi benar-benar diwujudkan, akan memicu kiamat ekologis. On the other hand, Koordinator Nasional FIAN Indonesia, Marthin Hadiwinata, rencana pemerintah ini juga sarat ambisi buat mencapai swasembada pangan yang it's so kolonial dan orba. Langkah kebijakan pemerintah buat ngegas swasembada sendiri malah bisa dianggap abai ke kepentingan masyarakat Adat, petani kecil dan perempuan.


Kok gitu?

Yep. Menurut Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Franky Samperante, pendekatan dengan pertanian keluarga, petani kecil, dan produsen pangan skala kecil malah berhasil memenuhi kebutuhan atas kedaulatan pangan. Lebih lanjut, reformasi agraria yang sejati seharusnya dimulai dari masyarakat adat dan lokal. Swasembada pangan yang dicanangkan pemerintah, malah cenderung mencetak persawahan baru daripada optimalisasi lahan yang udah ada. By the way, proyek food estate yang konsepnya monokultur sudah gagal sejak era pemerintahan Presiden Soeharto pada 1997 silam. Pengembangan lahan gambut juga terus berlanjut sampai era pemerintahan Jokowi di 2020.


How about Swasembada Pangan pemerintah?

Well, based on data pemerintah, perhutanan sosial bakal didorong buat perwujudan ketahan pangan. Lahan hutan seluas 1,1 juta ha disebut cocok buat pengembangan padi gogo. Kalo hanya padi dan beras yang jadi pangan utama maka bisa membahayakan kedaulatan pangan nasional. Efeknya bisa menghilangkan pangan lokal yang diproduksi dan dikonsumsi masyarakat adat. Menurut data Badan Pangan Nasional (Bapanas), konsumsi beras per kapita masyarakat Indonesia menurun pada 2021 dan 2023 dari 81,83 menjadi 81,23 kg/kapita/tahun. 


So, what's the conclusion?

Alright. Menurut Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Refki Saputra, cita-cita swasembada pangan pemerintah sekarang yang fokus ke satu komoditas aja bakal ngulang kesalahan rezim Orba, nih. Meanwhile, menurut Direktur Eksekutif Sustain, Tata Mustasya, dari sudut pandang ekonomi, kelestarian hutan bakal jadi tabungan buat kehidupan manusia yang sejahtera di masa depan. Jika rencana pemerintah membabat 20 juta ha lahan hutan benar diberlakukan, bakal menambah risiko meningkatnya cuaca ekstrem akibat climate change. More of it, keanekaragaman hayati bakal hilang juga dan memicu keruntuhan ekosistem secara global.

© 2025 Catch Me Up!. All Rights Reserved.