Lebih jauh, Pak Iskan menyampaikan dia bakalan gugat ke Mahkamah Konstitusi pasal-pasal ini. Nah di situ Pak Dasco ke-trigger, guys. Secara yang diperbolehkan itu kan cuma sebatas catatan, bukan melebar ke pencabutan pasal, bahkan sampai ke gugatan MK, gitu. Dipotong tuh omongan Pak Iskan di situ. Minta interupsi lagi dong beliau. “Tiga menit hak saya berbicara. Jangan kamu jadi diktator di sini. Saya akan ajukan ke MK,” kata Pak Iskan gitu. Dibalas lagi sama Pak Dasco yang bilang nggak bisa terima permintaan pencabutan pasal. Tapi dari pov-nya Pak Iskan, “Kasih waktu dulu kek. Saya belum selesai ngomong ini,” gitu kan. Mintanya cuman tiga menit aja, kalau nggak dia bakal keluar dari ruangan. Eh dijawab sama Pak Dasco, “Silakan.” Ya udah beneran walk out lah Pak Iskan dari rapat, guys.
Ngga cuma dari dalam DPR, keberatan yang sama juga disampaikan oleh
Komnas HAM. Menurut Komnas HAM, dengan disahkannya RKUHP, maka kasus-kasus pelanggaran HAM yang lalu-lalu, yang masih mereka selidiki sampai sekarang, berpotensi besar bakal dianggap nggak pernah terjadi. Hal ini karena dalam pasal pelanggaran HAM berat yang ada di RKUHP tuh masih belum pasti apakah memuat asas-asas khusus atau nggak, kayak yang ada UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
I’m not following….
Gini. Disampaikan oleh Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah, ada dua asas penting dalam pelanggaran HAM Berat. Yaitu asas retroaktif dan tidak mengenal kadaluarsa. Lewat dua asas ini, kasus-kasus pelanggaran berat yang terjadi di masa lalu tetap bisa diproses secara hukum tanpa batas waktu. Secara spesifik, Mbak Anis menyebut total ada 15 kasus pelanggaran HAM yang masih dikerjain, mulai dari yang historical kayak Kerusuhan Mei ‘98, Peristiwa Timor Timur tahun ‘99, sampai kasus-kasus lain di awal tahun 2000-an. Nah, dengan berpegang sama dua asas tadi, kasus ini sampai sekarang masih bisa terus diselidiki.
And then…
But the problem is, masih belum bisa dipastikan apakah dua asas ini ada apa enggak di RKUHP. Kalau nggak ada, selain berbenturan sama Undang Undang, meaning kasus HAM beserta penyelidikannya bisa aja ada masa berlakunya. Artinya kalo udah lewat batas waktu ya ngga diselidiki lagi. Makanya Komnas HAM sampai bilang, “Kasus HAM bakal dianggap nggak ada karena RKUHP ini,” ceunah. Makanya, Komnas HAM menyebut pihaknya siap melakukan judicial review kalau ke depannya ada problem in terms of penegakan HAM setelah RKUHP ini disahkan.
Sungguh sebuah problema…
Indeed. Banyak pihak menilai pasal-pasal yang ada di RKUHP tuh emang saling berbenturan,
guys. Berbenturan sama HAM, berbenturan sama kebebasan berpendapat, dan berbenturan juga sama
Kebebasan Pers. Yep, ini yang jadi
concern-nya Aliansi Jurnalis Independen aka AJI yang turut menolak pengesahan RKUHP. Adapun yang jadi
concern di sini adalah 17 pasal bermasalah terkait pidana pers yang berpotensi mengkriminalisasi jurnalis,
guys. Hal ini
of course bertentangan sama salah satu hasil reformasi 1998
which is Kebebasan Pers, sesuai yang tertuang dalam UU No. 40 Tahun 1999.
Oh no….
Sampai sini paham kan kamu kenapa RKUHP sebegitu ditolaknya sama berbagai kalangan masyarakat. Di media sosial bahkan ada
hashtag-nya, #SemuaBisaKena. Dari berbagai
background, semua bisa kena pidana. Terus sekarang disahkan, makin ngamuk lah warga. AJI sendiri udah menggelar aksi unjuk rasa di berbagai kota,
either online dan
offline. Dari Sabang sampai Merauke, kayak Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Aceh, Medan, Makassar, Samarinda, bahkan sampai ke Jayapura dan Manokwari. Nggak cuman itu, dari kalangan
mahasiswa, BEM Universitas Indonesia juga diketahui bakalan turun menggelar aksi. Sementara, di depan Gedung DPR RI di Senayan, udah heboh sama masyarakat yang dari kemarenan udah menggelar
aksi. Mulai dari bakar KUHP yang terdahulu, sampai bangun tenda pake tulisan: “Berkemah di Depan Rumah Wakil Rakyat karena Demokrasi Darurat.”
So, where are we going from here?
Well, setelah ketok palu dan disahkan di DPR, setelah ini KUHP yang baru bakalan dikirim ke Presiden Joko Widodo buat ditandatangani terus dikasih nomor dan jadi lembar negara. Nah,
considering pasal-pasal bermasalah dan respons publik terkait hal ini, nggak sedikit pihak baik di dalam negeri maupun organisasi internasional yang minta Pakde Jokowi buat
pertimbangin lagi KUHP-nya sebelum tanda tangan. Salah satunya adalah Komisi Tinggi PBB yang ngurusin human rights,
which is OHCHR.
Wowww apa katanya?
Dalam
tweet-nya beberapa waktu lalu, OHCHR minta Pakde buat mikir-mikir lagi terkait KUHP ini karena bisa mencederai HAM, khususnya bagi perempuan, dan mereka yang aborsi,
co-living, serta kelompok minoritas.
Meanwhile, kalaupun ini beneran di-
ACC sama Presiden Jokowi, KUHP yang baru nggak serta-merta berlaku,
guys. Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, yang menjadi representatif pemerintah di sidang paripurna kemarin itu bilangnya ada masa jeda selama tiga tahun di mana dalam tiga tahun itu, bakal dilakukan
sosialisasi ke masyarakat, penegak hukum, pegiat HAM, sampai akademisi kampus sebelum akhirnya KUHP
legit berlaku sebagai hukum yang sah di Indonesia di tahun 2025 ntar.
Got it. Anything else I should know?
Fyi Kemenkumham tuh sempat
mention kalau pengesahan RKUHP ini nggak bisa diterima sama masyarakat, yha silakan gugat aja ke Mahkamah Konstitusi, gitu kan. Nggak usah capek-capek unjuk rasa. Nah tapi, pakar Hukum Tata Negara juga pesimis pengajuan ke MK bakalan ada hasilnya. Dalam hal ini, Hakim MK tuh belum tentu juga bakalan menerima gugatan ini
since gugatan ini berhubungan langsung sama DPR di mana kalau itu hakim nggak sejalan, belio-belio di sana bakal dipecat. Ini pernah kejadian sama Hakim Aswanto yang September lalu diberhentikan gara-gara disebut nggak mengawal kepentingan DPR. Kebayang nggak kalau ada yang gugat terus MK memutuskan KUHP yang baru inkonstitusional, yha mereka bakal ‘
Diaswantokan’.
In that sense, kekuasaan hakim harusnya nggak boleh diacak-acak karena
once itu diacak-acak, yang terjadi adalah kerusakan negara hukum dan demokrasi.