First stop, who's saying "objection!"..
The US. Yep, being nosy as usual, kali ini AS mengkritik sistem pembayaran easy peasy dari Indonesia yaitu Quick Response Code Indonesia Standard a.k.a QRIS. Sorotan Amerika Serikat terhadap QRIS ini tercantum dalam laporan 2025 National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers AS yang rilis di akhir Maret 2025.
Zzzzzz apa katanya??
So, laporan itu berisi review AS atas performance perdagangan negaranya sama banyak negara selama beberapa tahun ke belakang, termasuk Indonesia. Nah, menurut klaim Office of the United States Trade Representative (USTR) perdagangan Amerika sama Indonesia mengalami defisit hingga US$17,9 miliar di 2024. Terus, dokumennya juga menyebutkan berbagai nuts and bolts berbisnis sama Indonesia, di antaranya ga lain ga bukan soal ribetnya birokrasi.
Interesting. Go on...
Jadi, laporan ini mengeluhkan soal tumpang tindih aturan impor yang bikin sulit masuknya produk AS ke Indonesia. Selain itu, Indonesia juga dinilai lemah dalam melindungi hak kekayaan intelektual sehingga masih jadi surga buat barang-barang bajakan. In that case, report tadi menjadikan Mangga Dua sebagai salah satu lokasi prioritas yang terus dipantau aktivitasnya. Nggak hanya Mangga Dua di Indonesia, peredaran barang bajakan di negara ASEAN lain seperti di Pasar Petaling Street (Kuala Lumpur, Malaysia) juga MBK Street (Bangkok, Thailand) juga disoroti.
Okay, go on...
Selanjutnya, pemerintah AS juga mengungkap soal praktik pemeriksaan barang di Bea Cukai Indonesia yang bisa menciptakan potensi korupsi. Selain itu, AS menggarisbawahi soal asesmen bea masuk yang cenderung mengandalkan daftar harga acuan daripada nilai transaksi barang. Padahal menurut Perjanjian Penilaian Bea Cukai atau Credit Valuation Adjustment-nya World Trade Organization (WTO), nilai transaksi jadi metode penilaian utama buat menentukan bea masuk. Selain itu, ada laporan dari eksportir AS kalau penentuan nilai bea masuk sering berbeda-beda di tiap wilayah untuk produk yang sama.
Terusss...
Oke, USTR juga menyoroti soal ketentuan 'bonus' buat petugas Bea Cukai sampai 50% dari nilai barang sitaan atau jumlah bea terutang jika ditemukan pelanggaran. Berdasarkan Perjanjian Fasilitasi Perdagangan WTO, Indonesia harus menghindari tindakan pemberian insentif semacam itu. Selain itu, pemerintah AS juga menilai kalau kebijakan wajib sertifikasi halal di Indonesia regulasinya nggak transparan dan bisa berubah sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan secara publik.
Ya, tapikan emang perlu kalo soal halal tuh...
Iya, tapi AS melihat kalau Peraturan BPJPH Nomor 3 Tahun 2023 soal proses akreditasi Badan Penyelenggaraan Halal (BPH) asing memberatkan, berbelit-belit, dan makan biaya mahal. Katanya, AS udah protes soal ini ke forum Komite Technical Barriers to Trade (TBT) dan Komite Perdagangan Barang WTO sejak 2019.
Now, tell me about the QRIS thing...
Nah soal ini, menurut USTR, penerapan QRIS di Indonesia malah membatasi ruang gerak dari perusahaan atau investor asing. Mereka menyebut bahwa dalam proses pembentukannya, Bank Indonesia (BI) tidak melibatkan pihak internasional termasuk penyedia layanan pembayaran asing. In their words: "Perusahaan-perusahaan asal AS khawatir karena tidak diberi informasi lebih awal mengenai perubahan kebijakan QR code, dan tidak dilibatkan dalam proses penyusunan sistem tersebut, termasuk dalam hal bagaimana sistem itu seharusnya bisa diintegrasikan dengan sistem pembayaran global yang sudah ada."
Ya terus kenapa...
Well, AS kan punya platform pembayaran guys, kayak Visa atau Mastercard yang may or may not be affected by QRIS. Padahal, pemberlakuan QRIS yang terintegrasi di Indonesia udah mengikuti Peraturan BI Nomor 21 Tahun 2019. Dalam kebijakan itu, seluruh transaksi yang pake QR code di Indonesia udah ikut standar nasional yang ditentukan. Tujuannya biar seragam dan pastinya lebih efisien buat transaksi dalam negeri.
Terus, ada respons dari kita?
Well, Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti, enggan komentar banyak. Doi cuma menegaskan kalau sistem pembayaran itu selalu diterapin sama pemerintah Indonesia lewat kerja sama yang setara sama negara lain. Lebih lanjut, Destry juga menyatakan bahwa sistem pembayaran asal AS di Indonesia juga nggak ada masalah sampai saat ini. Bahkan meski Indonesia udah punya produk Gerbang Pembayaran Nasional (GPN), sampai saat ini kinerja Mastercard sama Visa masih jadi yang tertinggi di Indonesia.
So, what is troubling the US?
Okay, AS masalahin Peraturan BI No.19/08/2017 soal GPN yang ngewajibin seluruh debit ritel domestik dan transaksi kredit bakal diproses lewat lembaga switching GPN lokasinya di Indonesia dan berizin BI. Peraturan ini memberlakukan pembatasan kepemilikan asing sebesar 20% ke perusahaan yang mau dapet pengalihan lisensi buat berpartisipasi di National Payment Gateway (NPG). Bisa dibilang keluhan AS ini lebih ke realita kalau nyatanya QRIS yang diterapin di Indonesia punya potensi buat berdikari, gaes. Kalau sampai overpower di dalam negeri, ditakutin transaksi via Mastercard sama Visa bakal ditinggalin sama warga. Apalagi kalau kesuksesan QRIS buat berdikari ini ditiru sama negara-negara lain, alamat AS bakal powerless.
Jadi ini akarnya di insecurity AS?
Yes, bisa dibilang gitu, gaes. Nggak hanya nyenggol QRIS, AS juga ngeluhin sistem pembayaran serupa yang ada di China yang punya Alipay sama WeChat Pay atau NAPAS di Vietnam. Sejak QRIS diluncurkan pertama kali sama BI pada 17 Agustus 2019, sistem pembayaran ini bertujuan buat memudahkan pembayaran terintegrasi lewat bank atau dompet digital dari mana aja. QRIS makin populer digunakan warga RI ketika musim pandemi di mana contactless payment sangat dianjurin buat mengurangi penularan COVID-19. Kini QRIS makin berkembang dan bisa diterapkan di luar negeri, seperti di Malaysia, Singapura, juga Thailand.
Jangkauannya luas juga, ya?
Iya gaes, bahkan saat ini ada delapan negara di Asia yang jadi target pengembangan QRIS, loh. Menurut Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, delapan negara yang dimaksud adalah Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Jepang, Korea Selatan, India, sampai Uni Emirat Arab (UEA). Meski begitu QRIS tetap nggak lepas dari sisi negatifnya, ya. Termasuk pembuatan kode QR yang belum termonitor. Hal ini biasanya dimanfaatkan sama pihak yang nggak bertanggung jawab buat melakukan kejahatan money laundry atau scam via e-wallet.
I see. Anything else?
Despite protesnya AS soal sistem pembayaran kita, kamu harus tahu nih BI mencatat transaksi ekonomi dan keuangan digital nasional tumbuh signifikan di Februari 2025. Menurut Perry, pembayaran digital yang terdiri dari aplikasi perbankan seperti mobile atau internet banking tumbuh 31,21% year on year (YoY) dengan transaksi hingga Rp3,38 miliar. Sedangkan, pembayaran lewat QRIS juga menunjukkan pertumbuhan positif hingga 163,32% YoY. Pertumbuhan pesat ini nggak lepas dari makin banyaknya pengguna QRIS juga merchant yang menyediakan opsi pembayaran QRIS untuk transaksi jual-beli. Lalu, pada Jumat (14/3), BI meluncurkan layanan QRIS Tap yang diklaim hanya butuh 0,3 detik untuk memindai dan memproses pembayaran. Canggih, ya?