National Dashboard Indonesia

Admin
UTC
75 kali dilihat
0 kali dibagikan

Maybe our government is lost in translation...


Postponed for one year

Guys, di sidang pleno 14 November 2024 lalu, Parlemen Eropa finally setuju buat nunda implementasi Regulasi Deforestasi Uni Eropa atau European Union Deforestation-Free Regulation (EUDR)Purpose-nya biar para pelaku bisnis global jadi punya additional time buat beradaptasi sama aturan EUDR. Tentunya biar ngga ganggu main goals waktu regulasinya bener-bener diberlakukan nantinya.


Hmm.... tell me more about it.

Okay, jadi berdasar keputusan itu, negara-negara produsen termasuk Indonesia punya waktu sekitar 2,5 tahun buat beradaptasi sama EUDR. Sejauh ini langkah yang udah dilakuin sama pemerintah kita kaitannya sama upaya adaptasi itu baru sebatas membentuk National Dashboard Indonesia, guys.


What is that???

Okay, let me explain. National Dashboard Indonesia atau Dasbor Nasional Indonesia adalah program yang diklaim pemerintah bisa memperbaiki tata kelola komoditas berkelanjutan dan sistem traceability yang dimaui oleh EUDR. Langkah pemerintah satu ini diwujudkan lewat Keputusan Menko Perekonomian (Kepmenko) Nomor 178 tahun 2024 tentang Komite Pengarah Dasbor Nasional Data dan Informasi Komoditi Berkelanjutan Indonesia.


So, it's going well or....

Hmm.... it's kinda confusing. Soalnya , pembentukan Dasbor Nasional ini malah nggak sesuai sama EUDR, nih. Jadi, pemerintah kita maunya Uni Eropa mengacu ke sistem ini buat memenuhi prosedur dan implementasi yang sesuai sama standar no deforestation. Problemnya, Indonesia nggak punya sistem transparan buat ngewujudin itu. Dari situ jadi makin sus, masyarakat sipil jadi punya dugaan kalau Dasbor Nasional nih sebenarnya dibentuk buat nutupin rantai pasok minyak sawit kotor yang ada di negara kita.


This is a bad move then?

Ya, bisa dibilang gitu, guys. Langkah yang diambil sama pemerintah kita buat menjawab tuntutan EUDR ini malah bakal menyulitkan pelaku usaha untuk taat sama aturan EUDR nantinya. Terlebih, Dasbor Nasional digadang-gadang bakal jadi perantara ekspor komoditas Indonesia ke pasar EU. Fakta ini sampai sekarang belum dapet green light dari pihak EU-nya sendiri. At the same time, udah ada konfirmasi dari pihak EU kalau sistem informasi yang dibangun sama mereka buat EUDR nggak akan mengacu ke sistem informasi yang dibangun sama negara lain. So this is not only a bad move...


So kinda oot, dong?

You can say that. Dalam diskusi antara Satya Bumi, Greenpeace Indonesia, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), dan Koalisi Transisi Bersih di Selasa (17/12) kemarin, perwakilan organisasi yang hadir menyoroti soal Dasbor Nasional yang dinilai nggak transparan. Menurut Mansuetus Darto, selaku Dewan Nasional SPKS meminta pemerintah buat nggak buang waktu mengurus Dasbor Nasional. Beliau menganggap kalau penguatan traceability, SDM Birokrasi sampai daerah, juga pelaku usaha jauh lebih urgent. Moreover, memang nggak ada kewajiban buat pemerintah membangun sistem informasi baru karena EU sendiri yang akan prepare dan distribute ke semua negara produsen. Kayak lebih baik fokus ke hal lain aja gitu...


Agak worrying ya...

Nggak salah kalau dianggap gitu sih, terlebih nantinya sistem informasi itu juga akhirnya nggak akan bisa diakses secara publik. Padahal semua juga tau lingkungan dan lapisan masyarakat mana yang bakal terdampak dari adanya aktivitas perusahaan untuk produksi komoditas ekspor kelapa sawit ini. Ujung-ujungnya yang bisa akses cuma konsumen atau otoritas yang dapet izin dari dari pihak National Dashboard-nya sendiri. Jadi berasa kaya buat yang tau-tau aja kan jadinya...


Terus apa kata yang lain?

Ngga jauh beda, sih. Perwakilan organisasi lain yang hadir juga punya suara yang senada. Misalnya Direktur Sawit Watch, Achmad Surambo yang punya kekhawatiran kalau Dasbor Nasional ini malah bakal overlap sama sistem informasi yang udah ada di beberapa kementerian kita, misalnya Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Perhutanan, juga Kementerian ATR/BPN. Belom lagi sistem-sistem yang udah dibentuk sebelumnya pun tetap belum bisa kasih jaminan pelaku usaha harus lapor tentang apa aja yang udah mereka lakuin di sebuah wilayah. So, masyarakat jadi kaya ngga dikasih ruang buat cross check kalau ada situasi yang nggak menguntungkan mereka.


Terus gimana baiknya?

Daripada bikin sistem informasi baru yang nggak kepake-kepake amat, Pak Rambo menyarankan pemerintah buat mengintegrasikan sistem informasi kementerian yang sudah ada sebelumnya sebagai basis data, misalnya SIPERIBUN, ESTDB, INATRADE, CEISA, dan PCOPI. Masih menurut Pak Rambo, pemerintah kita harusnya lebih fokus ke tata kelola komoditas sawit aja. Langkah ini bisa dilakuin dengan dorong para petani buat berswadaya dalam rantai pasok. Step ini bisa diwujudin dengan beberapa cara, misalnya penguatan data dan legalitas petani swadaya, mendorong terjadinya konsolidasi petani swadaya lewat kelembagaan petani, perbaikan tata niaga komoditas sawit, sampai mendorong pengembangan pabrik kelapa sawit mini oleh petani swadaya.


Anything else we should know?

Ya, intinya penggunaan sistem informasi Dasbor Nasional ini harus dipastiin nggak akan jadi gerbang buat terjadinya pasal karet buat birokrasi yang ada. Bukannya tanpa alasan juga kan banyak pihak yang khawatir, sistem informasinya nggak terbuka buat publik juga, sih. Senada juga dengan itu, peneliti Satya Bumi Sayyidatihayaa Afra juga mengkritisi kebijakan Dasbor Nasional yang nggak transparan ini. Kalau memang concern-nya ke komoditas berkelanjutan, harusnya bisa lebih terbuka dan kredibel aja. Toh, nantinya bakal baik juga buat value komoditas sekaligus ningkatin daya saingnya di pasar dunia. Alasannya ditutupnya transparansi data sama traceability ini karena katanya nyalahin UU Nomor 27 tahun 2022 yang berlaku di Indonesia soal perlindungan data pribadi. Padahal mah sharing data yang dimaksud di sini kan bukan data pribadi yang itu kan...

© 2025 Catch Me Up!. All Rights Reserved.