Admin
UTC
0 kali dilihat
0 kali dibagikan
For when you got threatened for speaking out about climate change…
Environmental Human Rights Defenders (EHRD) can relate.
Who?
Aktivis hak atas lingkungan gengs. Iya, jadi berdasarkan hasil studi dan monitoring yang dilakukan sama ELSAM, aka Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, diketahui bahwa telah terjadi peningkatan kasus kekerasan terhadap aktivis Hak atas Lingkungan dalam jangka waktu Mei – Agustus 2020 lalu. Angka ini meningkat dibanding periode sebelumnya.
Ouch….
Yep, jadi kalo pada periode sebelumnya yakni Januari-April jumlah kekerasannya ini ada 22 peristiwa, maka pada periode kali ini, jumlahnya naik jadi 28 peristiwa. Adapun aksi-aksi kekerasan tadi terjadi di 14 provinsi dan 22 kabupaten/kota…
Terus, paling banyak terjadi di mana?
Di Jawa Barat, yang punya empat peristiwa. Terus paling banyak kedua terjadi di Papua Barat, Riau, Sulawesi Selatan, dan Jambi dengan masing-masing tiga peristiwa, dan dua peristiwa di Papua, Kalimantan Tengah, dan Jawa Timur. Nah sisanya ada satu peristiwa di berbagai lokasi kejadian.
Hmmm ini pelaku kekerasannya siapa sih?
Well, yang pasti sih aktor negara teteup yang paling banyak melakukan aksi kekerasan terhadap para aktivis lingkungan tadi ya guys. Adapun jumlah detailnya adalah polisi (22 peristiwa), TNI (2 peristiwa), Pejabat Negara (2 peristiwa), hakim (1 peristiwa). Terus, kekerasan juga ada yang dilakukan oleh aktor non-negara termasuk perusahaan (15 peristiwa), orang tak dikenal (3 peristiwa), dan lainnya (1 peristiwa). Jadi in total, ada 46 aktor yang terlibat dalam penyerangan terhadap masyarakat atau aktivis hak atas lingkungan.
Tell me more…
Nah yang menarik nih guys, walaupun jumlah peristiwa kekerasannya ada 28, namun tindakan kekerasannya mencapai 32. Kenapa bisa begitu? Karena emang dalam satu kasus itu bisa terjadi beberapa kekerasan. Contohnya, misalnya ada aktivis yang ditangkap aparat, nah sebelum ditangkap, mereka diancam dulu, dipukulin, rumahnya dihancurin, and so on and so forth. This means, dalam satu kasus bisa jadi ada setidaknya tiga tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan aparat. That’s why angkanya lebih banyak.
Got it.
Yep. Adapun 32 tindakan kekerasan tadi itu terdiri dari penangkapan dan intimidasi (9), serangan fisik (5), perusakan (3), penahanan (3), perampasan tanah (2), dan pembunuhan (1). Terus, total korbannya ada 56 individu dan 9 kelompok. Mereka terdiri dari petani (18), masyarakat adat (16), mahasiswa (15), nelayan (4), aktivis (2), dan jurnalis (1). Kalau dilihat dari segi jenis kelamin, ada 53 laki-laki dan 3 perempuan yang menjadi korban.
Hah? Ada pembunuhan juga??
Iya. Hal ini terjadi di Kabupaten Boven Digul, Papua pada Mei 2020, terhadap warga yang namanya Marius Betera. Jadi awalnya, beliau mendatangi Perusahaan sawit PT Tunas Sawa Erma untuk mempertanyakan tentang lahannya yang digusur paksa oleh pihak perusahaan. Namun beliau justru dianiaya oleh anggota polisi setempat sampai tewas.
Oh gosh, any typical cases?
Well, berdasarkan laporan ini, ternyata ada juga tren di mana para aktivis diteror menggunakan sms dan WhatsApp guys. Contohnya adalah pada 21 Agustus 2020 lalu misalnya, di mana seorang staf dari organisasi masyarakat sipil yang fokus ke isu kehutanan dan pembalakan kayu di Papua mendapat sms dalam Bahasa Inggris yang menyebut bahwa pihak pengirim mengetahui kerja pendampingan yang dilakukan lembaga tersebut. Selain itu, penerornya juga bilang bahwa mereka tahu lokasi, tempat tinggal, dan profil keluarga dari sang staf.
Serem abis…
Yep, terus contoh lainnya adalah pada 11 Juni 2020 lalu, ketika seorang aktivis lain mendapat terror via WhatsApp yang disertai dengan KTP-nya. Terus, akun aplikasi pembayaran daring sang aktivis dan istrinya juga diretas. FYI, rangkaian kejadian ini terjadi nggak lama setelah sang aktivis jadi narasumber di sesi diskusi tentang Papua.
I see, terus gimana?
ELSAM ngasih rekomendasi ke Presiden supaya Presiden bisa terus berkomitmen terhadap perlindungan HAM dengan cara:
- Memerintahkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) agar menerbitkan peraturan menteri tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, aka pasal anti strategic lawsuit against public participation (anti-SLAPP).
- Memerintahkan seluruh institusi keamanan dan penegak hukum, especially TNI dan Polri untuk melakukan evaluasi pendekatan keamanan-militeristik yang ditemukan di kasus-kasus penyerangan terhadap aktivis hak atas lingkungan.
Okay, anything else?
FYI guys, diketahui juga bahwa kasus-kasus kekerasan ini cenderung meningkat setelah terjadi pengesahan Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) pada sidang paripurna tanggal 15 Mei 2020. Selain UU Minerba, para aktivis ini juga banyak memprotes RUU Ciptaker yang pada akhirnya disahkan pada 5 Oktober 2020 lalu.