First stop, about fenomena tentara masuk kampus...
Tentara tempatnya di barak. TENTARA TEMPATNYA DI BARAK. Yep, unless we wanna go back to Orde Baru, pemerintah dan kita semua harus komit banget nih bahwa tentara itu tempatnya di barak aka markas aka bukan di ruang-ruang sipil. Tapiii, belakangan yang terjadi adalah fenomena tentara masuk kampus. Hal ini of course bikin banyak orang khawatir sama risiko intimidasi dan ancaman kebebasan akademik di lingkungan kampus. Yang paling baru, sejumlah anggota TNI diketahui masuk dan memantau kegiatan konsolidasi mahasiswa di Universitas Indonesia (UI) pada Rabu (16/4).
HAH apa si
Iya kan. Well, fenomena ini terjadi di area Pusat Kegiatan Mahasiswa (Pusgiwa) UI pada Rabu (16/4) sekitar pukul 23.00 WIB. Di malam itu, konsolidasi mahasiswa yang udah mengantongi izin dari pihak rektorat dihadiri oleh perwakilan BEM se-UI. Nah, pihak Komandan Distrik Militer (Dandim) Depok menyebut kalau kehadirannya untuk memenuhi undangan dari seorang mahasiswa berinisial F dan Kepala Bagian Pengamanan UI berinisial AR. Tapi, Pejabat Humas UI, Arie Afriansyah, dari klarifikasi Kabag UI nggak pernah mengundang Dandim 0508/Depok, Kolonel Infanteri Imam Widhiarto, buat hadir di acara konsolidasi itu.
Datang tak diundang....
True. Terus pihak UI juga coba menghubungi mahasiswa F buat minta klarifikasi. Tapi, sampai Sabtu (19/4) sore, belum ada informasi yang bisa dikonfirmasi soal statement itu. Nah, waktu ditanyain ke Kepala Pusat Penerangan TNI Brigadir Jenderal Kristomei Sianturi, pihaknya bilang nggak ada TNI yang ditugaskan buat memantau diskusi mahasiswa di UI. Dalam klarifikasi lebih lanjut, Kristomei bilang kalau undangan ke kampus nggak lebih dari untuk sekedar ngobrol sama diskusi aja. Selain itu, kalo ada ketakutan UU TNI bakal mengembalikan dwifungsi ABRI seperti masa orba dulu, itu hanya ketakutan berlebihan.
Hmmm... ini bukan pertama kalinya kan?
Yep, sebelum ramai-ramai kehadiran anggota TNI di UI Depok, forum diskusi di Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang juga kedatangan aparat pada Senin (14/4). Diskusi yang diselenggarakan di Auditorium 2 Kampus III UIN Walisongo Semarang itu mengangkat tema, "Fasisme Mengancam Kampus: Bayang-bayang Militer bagi Kebebasan Akademik".
OK terus...
Nah ketika diskusi dimulai, muncul sosok laki-laki yang tiba-tiba datang dan duduk di barisan belakang. Ketika diminta memperkenalkan diri, laki-laki itu memperkenalkan diri sebagai Ukem tanpa menjelaskan dari mana asal atau organisasinya. Menurut keterangan salah satu panitia diskusi, Ryan Wisnal, sesaat setelah Ukem meninggalkan diskusi yang masih berjalan, satpam kampus memanggil panitia untuk bertemu dua orang laki-laki yang berseragam TNI.
Geeez...
Nah terus, panitia yang menemui oknum TNI itu diminta menyerahkan identitas dan ditanya-tanyai soal penyelenggaraan diskusi. Karena itu, para mahasiswa yang merasa diawasi aparat jadi ketakutan. Ga sampe situ aja, guys. Sebelumnya, situasi serupa juga terjadi di UIN Salatiga, di mana pendaftaran anggota baru di Lembaga Pers Mahasiswa aka LPM Dinamika sempat disusupi oleh orang tak dikenal yang diduga seorang aparat. Modusnya, orang tersebut ikut mendaftarkan diri hingga membayar biaya pembekalan. Ketika coba dikonfirmasi lewat pesan WhatsApp, nomor orang tak dikenal itu merupakan Whatsapp bisnis yang menyatakan kalau nomor tersebut adalah nomor Humas Polres Salatiga.
Waduh, ngeri banget???
Iya banget, gaes. Ternyata questionable things nggak hanya terjadi di kampus di Semarang dan Salatiga aja, fenomena aparat masuk kampus-kampus ini juga terjadi di kota-kota lain di Jawa Tengah. Menurut aktivis hak asasi manusia Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, Cornelius Gea, intimidasi aparat yang makin marak setelah penolakan terhadap RUU TNI ini juga terjadi di Jepara, Pekalongan, dan Tegal. Lebih lanjut, sejumlah mahasiswa yang terlibat aksi di berbagai daerah mengalami berbagai intimidasi seperti didatangi keluarganya dan ditanya-tanya. Nah, oknum yang datang dan mengintimidasi para massa aksi juga keluarganya ini termasuk intel kepolisian, TNI, sampai ormas.
Gimana sama respons pemerintah soal ini?
Well, terkait fenomena ini, Menteri Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi (Mendikti Saintek), Brian Yuliarto, mengaku nggak khawatir mengingat perguruan tinggi sifatnya terbuka buat sharing gagasan termasuk sama pihak TNI. Dalam statement-nya pada Sabtu (19/4), Brian juga menyinggung kalau di Amerika lab-lab yang ada di satuan tentara sangat maju. Sehingga di era keterbukaan informasi seperti sekarang, menurut Brian nggak ada yang salah sama datangnya TNI ke lingkungan kampus. Malah dengan keterbukaan antar instansi bakal mendorong terwujudnya sinergi demi kemajuan negara.
Iya kah?
Hmmmm not really. Menurut Made Supriatna dari ISEAS-Yusof Ishak Institute, tetep aja ada potensi demokrasi di lingkungan pendidikan yang bakal terkikis. Lebih lanjut, Made menyebut kalau program bela negara untuk mahasiswa juga jadi bentuk penyebaran ideologi militer. Sebenarnya pelatihan ini bukan kebutuhan pendidikan masyarakat sipil dan malah bisa jadi media brainwashed supaya mahasiswa jadi tunduk sama narasi-narasi tertentu. Meanwhile, menurut Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik, Satria Unggul, masuknya militer ke kampus bisa kembali menghidupkan kembali program Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) era Orba.
Apaan tuh?
So, zaman Soeharto dulu, NKK ini diberlakukan buat membatasi mahasiswa berpolitik dan mendorong mereka untuk fokus ke kegiatan akademik saja. Selain itu, adanya BKK pada era itu juga untuk memastikan kegiatan yang diselenggarakan di kampus tetap ada di koridor yang udah ditetapkan sama pemerintah. Singkatnya kebebasan berekspresi mahasiswa bener-bener dibatasi termasuk suara atau kritik ke jalannya pemerintahan. Nah, menurut Satria kerja sama antara kampus dan TNI lewat pendidikan bela negara bisa jadi NKK/BKK gaya baru yang mengancam kebebasan akademik.
OK. Anything else?
Yes, menurut koordinator pusat BEM SI, Herianto, ada banyak laporan dari sejumlah kampus yang mengaku menerima ajakan diskusi dari TNI yang bakal digelar di area kampus. Lebih lanjut, BEM SI mengungkapkan kecemasan mereka terkait sejumlah pertanyaan yang diajukan oleh anggota TNI ketika berada di lingkup kampus. Pertanyaan-pertanyaan yang dirasa mengkhawatirkan itu mencakup tema diskusi sampai jumlah peserta yang ikut dalam forum tersebut. Meanwhile, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, menyatakan bahwa kampus adalah ruang bebas akademik tempat terjadinya berbagai diskusi ilmiah. Berbagai aktivitas akademik di kampus bukan ancaman terhadap kedaulatan negara, sehingga militer nggak boleh intervensi.