First stop, let's go to: Gedung DPR RI.....
Ada yang nggak mau nurut Putusan MK!
Nikmat emang kekuasaan ya, guys? Punya kekuasaan sekedar bisa nyuruh-nyuruh bibi di rumah, atau minta tolong anak intern ini-itu di kantor aja nikmat banget kan? Apalagi kekuasaan mimpin negara dengan penduduk 270 juta++? Saking nikmatnya, yaaa it may or may not be understandable that the current government wants to keep on ruling as long as they can. Dari awalnya tiga periode gagal, ngutak-ngatik MK sampe anaknya bisa jadi wapres, dan sekarang, diutak-atik lagi tuh MK biar anak yang satunya juga bisa maju di Pilkada!
Dibilang enak ya memang enak...
Well, and they've been very serious about it. Karena kemaren banget nih, DPR RI menyatakan mereka lebih milih nurut sama Putusan Mahkamah Agung instead of putusan Mahkamah Konstitusi terkait UU Pilkada. Oh, nggak sampe situ, DPR RI tuh diketahui juga lagi sat-set secepat kilat merevisi UU Pilkada (Yang most likely akan disahkan hari ini juga). Kalau RUU ini akhirnya sah jadi Undang-Undang, maka Putusan MK kemaren nggak akan ada artinya lagi.
GILA! TELL. ME. EVERYTHING.
Oh, dengan senang hati. Kurang dari seminggu sebelum pendaftaran calon kepala daerah (we're talking about 545 daerah yang bakal milih gubernur, walikota dan bupati se-Indonesia! So imagine the "kekuasaan" that are being contested smh) gebrakan dari berbagai lembaga tinggi negara emang sungguh kayak roller coaster, guys. To start off, Kamu tahu dong Mahkamah Agung sama Mahkamah Konstitusi tuh sama-sama punya putusan terkait Pilkada ya. Termasuk soal syarat minimal usia calon kepala daerah. Versinya MA berusia 30 tahun pada saat pelantikan (which is much later, kayak Januari tahun depan), versi MK 30 tahun-nya pada saat penetapan calon (bulan ini banget). Nah, long story short, putusan ini ditindaklanjuti oleh DPR RI deh, guys.
Okay….
Nah di sini nih, gongnya. Sama DPR RI, para wakil rakyat di Badan Legislasi DPR nggak mau ngikut ke Putusan MK. Mereka malah ngikutnya ke Putusan MA. Hal ini of course bikin semua orang literally marah! Kayak, “Bisa-bisanyaaaa????” gitu kan. Padahal kan kita tahu ya: MK ini lembaga konstitusional tertinggi di negeri ini. Sifat putusan mereka juga final and binding, artinya terakhir dan langsung mengikat. Nah kalau nggak diikuti, pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti menyebut ini udah masuknya ke “Pembangkangan konstitusi”.
Emang ada gila-gilanya ini DPR…..
We know riteeee. So now, all eyes are on: Badan Legislasi DPR. Yep, jadi aturannya tuh guys, kalo udah ada aturan yang di-acc (atau dalam hal ini diputus) sama lembaga lain, maka tugas baleg DPR adalah mengharmonisasi aturan tadi ke dalam undang-undang. Kuncinya di mereka nih. Makanya aneh banget ketika Baleg memutuskan untuk milih putusan MA. Disampaikan oleh Anggota Baleg dari Fraksi PAN, Yandri Susanto, since ada dua putusan di sini, maka DPR selaku pembentuk Undang-Undang tuh HARUS MEMILIH putusan mana yang mau dipake. MA atau MK. Terus udah kan. Mereka akhirnya pilih Putusan MA. Sampe sini muncul pertanyaan dong, kenapa malah putusan MA yang ‘Dipilih’?
Coba gimana?
Get ready. Jadi, disampaikan oleh Wakil Ketua Baleg, Achmad Baidowi, pihaknya emang milihnya yang MA karena putusan MA dinilai lebih jelas dan tegas. Iya, in his words, Pak Awiek bilang, “Putusan Mahkamah Agung justru lebih tegas. 30 tahunnya sejak pelantikan."
Okay….meanwhile, on Putusan Mahkamah Konstitusi, Pak Awiek bilang, “Pilkada itu hanya disebut usia 30 tahun. Tidak disebutkan kapan." Nah yang harus kamu tahu adalah, putusan yang dibacakan Wakil Ketua MK Saldi Isra tuh jelas menyebut: “Persyaratan usia minimum, harus dipenuhi calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah ketika mendaftarkan diri sebagai calon." Jadi pas penetapan calon tuh udah haru 30 tahun, guys. KURANG JELAS DAN TEGAS APALAGI COBA?
DIH????
Belum selesai di sini. Masih ngomongin Baleg, Baleg tuh di sini nggak cuma mengabaikan putusan MK, tapi juga ngide gitu lo. Modifikasi putusan tersebut tanpa dasar yang jelas. Gini gini, ini soal ambang batas sebuah parpol bisa ngajuin calon kepala daerah. Di Putusan MK kan jelas ya, partai bisa ngajuin kepala daerah berdasarkan jumlah penduduk yang terdaftar di Daftar Pemilih Tetap. Asalkan udah punya suara sah sekian persen, di Jakarta sendiri 7,5% di situ. Nah, menurut Baleg, aturan ini nggak bisa dipukul rata berlaku untuk semua Parpol, gengs.
Ya bubarin ajalah MK...
Dan semua lembaga negara lain aja kata gua teh :)). Balik lagi ke keterangan Pak Yandri Susanto selaku Anggota Baleg, aturan soal ambang batas ini nggak bisa disamaratakan antara partai yang udah punya kursi di DPRD Provinsi sama yang nggak punya. Jadi, menurut para wakil rakyat yang terhormat itu: Bagi partai yang punya kursi di DPRD, aturan yang dipakai tetap mengacu ke threshold 20% Alias tetap pake aturan lama sebagaimana tertuang di UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016.
Lah terus, Putusan MK yang baru?
Putusan MK yang baru, itu ditujukan buat partai yang nggak punya kursi di DPRD, guys. “Nggak bisa di-mix,” katanya. Nggak bisa di-mix maksudnya: Partai di DPRD nih, nggak bisa koalisi sama partai non DPRD (aka yang ga punya kursi aka suaranya dikit). Terus kalau partai non DPRD mau ngajuin kepala daerah, ya mereka kudu koalisi ke sesama partai non DPRD juga sampe kekumpul 7,5% (buat di Jakarta, misal). Adapun menurut Pak Yandri, KPU bakal susah menetapkan paslon kalau “Sebagian pake threshold, sebagian lagi pake jumlah suara sah”. Jadi ya dipisah aja. NAH TAPI MASALAHNYA, di Putusan MK tuh nggak ada mengkotak-kotakkan kayak gitu. DPR aja yang ngada-ngada sendiri.
Aduhhhh…..
Wait until you hear about: Segala ngide-ngidean DPR ini udah disepakati di Badan Legislasi, guys. DPR ya mode kagak berdosa menyepakati hal ini, Anggota Badan Legislasi dari Gerindra, Habiburokhman (yang kampanyenya abang ganteng itu guys di Jaktim) bahkan bilang, “Keputusan hari ini bagaikan angin segar bagi demokrasi yang berhembus di Gedung DPR. Pengesahannya dilakukan dengan memenuhi prinsip-prinsip demokrasi."
WHERE IS THE DEMOCRACY???
Demokrasi yang sesingkat kilat mereka udah sepakat “Ok aturannya begini ya, bapak/ibu” itu loh :)))). Satu jam tuh mereka udah sepakat di situ (Plis rapat organisasi kampus aja sampe subuh loh pak/bu). Anyways, karena udah sepakat, maka keputusan ini akhirnya akan dibawa ke Rapat Paripurna hari ini untuk disahkan sebagai Revisi UU Pilkada. Kalau disahkan hari ini juga, ya kelar.
HMMMM….
Meaning, kalau udah disahkan sebagai UU, bola panasnya ntar ada di KPU: mau ikut aturan yang mana: Putusan MK, Putusan MA, atau UU baru ntar. That being said, menyikapi hal ini, Ketua KPU M. Afifuddin bilang posisi mereka juga kegencet di sini, guys. In his words, Pak Afif bilang, “Posisi KPU itu sekarang ibarat hamburger di tengah, penyet, iya kan? Di sini ada putusan, di situ ada putusan, semua punya kewenangan dan diserahkan ke kami bagaimana menindaklanjutinya."
Ok, now wrap it up….
Jadi ya gitu deh intinya. Sakit banget sekarang ini negara, guys. Yang bikin rakyat tambah marah adalah: DPR tuh di sini kesannya pilih kasih gitu lo. Putusan MK yang menguntungkan Mas Gibran jaman Pilpres kemaren mereka diem-diem bae. Lah sekarang, giliran putusan MK merugikan Kaesang (sehingga terancam gagal ikut Pilkada) dan PDI Perjuangan (you know how the history has been going between Jokowi and PDI Perjuangan, rite?) mereka malah gercep. Makanya, politisi PDI Perjuangan, Masinton Pasaribu menyebut partainya tetap ikut Putusan MK. “Kita gunakan Putusan Mahkamah Konstitusi. Biarlah rakyat menjadi saksi untuk memperjuangkan demokrasi yang hendak dibunuh oleh kekuasaan hari ini,” gitu cenah.





