Who’s playing with freedom of the press?
DPR on revisi UU penyiaran.
Yep, belakangan ini DPR kembali jadi sorotan publik nih, guys. Bukan karena DPR yang berprestasi or dapet achievement apa gitu, bukan yah. Mereka disorot setelah kedapatan tengah membahas revisi UU penyiaran yang kontroversial banget karena dinilai banyak pihak bakal merampas kebebasan pers. Bayangin aja, dalam revisi UU penyiaran ini disebutin soal pelarangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi dan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia aka KPI untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik.
Hold up. Walk me through.
You got it. Jadi better kita mulai dulu nih dari munculnya draf revisi UU Penyiaran tertanggal 27 Mei 2024 kemarin. Di dalam draf tersebut, total ada 14 bab dengan 149 pasal yang rencananya bakal jadi perubahan kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Kalo kata anggota Panitia Kerja revisi UU Penyiaran Mba Nurul Arifin sih, revisi ini udah dimulai dari 2012 lalu dan kembali digulirkan dengan alasan penguatan regulasi penyiaran digital.
Yang bener??
Belum apa-apa udah skeptis aja deh wkwk. Tapi nggak cuma kamu sih yang mempertanyakan soal revisi UU Penyiaran ini. Soalnya kemarin banget nih, Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu bersama jajarannya dengan tegas menolak revisi UU Penyiaran karena ending-nya yha cuma bakal menjadikan produk pers nggak merdeka serta karya jurnalistik yang dibuat juga jadi nggak berkualitas. Ofc ini nge-highlight pada Pasal 50B ayat (2) huruf (c) pada revisi UU Penyiaran yang memuat larangan isi siaran dan konten siaran yang menayangkan tayangan eksklusif jurnalistik investigasi.
Maksudnya gimana Mba Ninik?
Well, jadi dalam statement-nya kemarin, pelarangan tayangan eksklusif jurnalistik investigasi tuh udah bertentangan sama mandat UU Nomor 40 Tahun 1999. Jadi dalam UU tersebut tegas disebutkan bahwa di negara kita tuh udah nggak ada lagi penyensoran, pembredelan, atau bahkan larangan terhadap karya jurnalistik berkualitas kayak yang terjadi zaman orba. Nah kalo tayangan eksklusif jurnalistik investigasi aja dilarang, sama aja dong pemerintah melarang karya jurnalistik berkualitas yang udah diatur sama UU tadi.
Apakah kita akan kembali ke zaman ORBA?
Ya kan khawatirnya gitu... terus Dewan Pers juga nggak setuju banget nih sama perluasan wewenang KPI dalam menyelesaikan sengketa jurnalistik yang tertulis pada Pasal 8A ayat (1) huruf (q) revisi UU Penyiaran. Soalnya kata Mba Ninik, mandat penyelesain karya jurnalistik tuh yha cuma ada di Dewan Pers aja dan juga udah paten tertuang dalam UU. In her words, beliau bilang, “Ketika menyusun peraturan perundang-undangan perlu proses harmonisasi agar antara satu undang-undang dengan yang lain tidak tumpang tindih.”
Ada lagi dari Ibu Ninik?
Last but not least, dalam konferensi pers kemarin, Mba Ninik juga bilang nih kalo Dewan Pers tuh sama sekali nggak diajak ngobrol sama DPR dalam revisi UU penyiaran ini. Mereka juga ngga dilibatkan dalam pembahasannya, padahal Dewan Pers di sini posisinya penting banget sebagai penegak UU Nomor 40 Tahun 1999 itu tadi. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga udah mengatur bahwa penyusunan regulasi wajib hukumnya buat melibatkan masyarakat. Kalo sekelas Dewan Pers aja nggak dilibatin, terus DPR ngelibatin siapa dong pas menyusun draf revisi UU penyiaran kemarin?
Nggak mungkin cuma ngelibatin oligarki kan?
Kita sih berharap engga yah. Lagian kamu perlu tahu nih kalo revisi UU penyiaran ini juga dipertanyakan sama Menkominfo, Budie Arie Setiadi. Jadi kemarin banget nih, dalam keterangannya Pak Budi justru nge-support para insan pers buat tetap ngelakuin jurnalistik investigasi. Kata Pak Budi sih, “Jurnalistik harus tetap berkembang karena tuntutan masyarakat juga berkembang.”
Give DPR the mic pls.
Olrait-olrait. Jadi menanggapi ramenya penolakan draf revisi UU penyiaran ini, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad pada Selasa kemarin akhirnya juga mengakui nih kalo penayangan eksklusif jurnalistik investigasi tuh harusnya nggak dilarang. Cuma kata Pak Dasco sih, sekarang ini pemerintah lagi menyusun dan mengatur agar jurnalistik investigasi bisa berjalan lebih baik.
Perasaan everything’s fine, Pak?
Nggak juga kalo kata Pak Dasco mah. Soalnya dalam statement-nya kemarin, doi menyebut kalo hasil investigasi media tuh nggak selalu sesuai sama real-nya, guys. Meski nggak menyebut contohnya kasusnya apa, Pak Dasco berkeyakinan kalo hasil jurnalistik investigasi yha tetep perlu diatur. In his words Pak Dasco bilang, “Ada juga yang sebenarnya hasil investigasinya benar, tapi ada juga yang kemarin kita lihat juga investigasinya separuh benar, nah itu. Jadi kita akan bikin aturannya, supaya sama-sama jalan dengan baik.”
Hhmmm, anything else I should know?
Well, kritik dan penolakan atas draf revisi UU penyiaran nggak cuma disuarakan sama Dewan Pers aja lho, guys. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) juga ikut speak up menolak direnggutnya kebebasan pers di Indonesia. Ketum PWI, Hendry Ch Bangun bilang kalo kerja jurnalistik tuh nggak boleh dibatasi dengan dalih apapun. Pers bekerja buat memenuhi hak masyarakat atas informasi yang benar. Meanwhile Sekjen AJI, Bayu Wardhana bilang bahwa pelarangan media menayangkan konten eksklusif jurnalisme investigasi upaya pembungkaman pers. So, better pasal bermasalah yang ada di draf revisi UU penyiaran yha dihapus aja, kata Mas Bayu.