When nearly half of the teenagers realize that social media is bad for their...
Siapa sih yang hari gini nggak menggunakan media sosial? Meski kemungkinan tetap ada, tapi most of people use it for dear life. Termasuk para remaja yang baru beranjak besar, medsos mungkin udah kaya bagian dari keseharian. Penting buat terus keep on track dan mastiin nggak ketinggalan tren terbaru. But, penelitian dari Pew Research Center yang rilis pada Selasa (22/4), menunjukkan kalau hampir setengah dari remaja AS menyatakan kalau medsos punya dampak yang mostly bad for people of their ages.
Tell me about it.
OK. Jadi emang dampak penggunaan medsos ke kesehatan dan kesejahteraan mental anak muda emang udah jadi topik yang sering dibahas dan jadi perhatian berbagai kalangan. Nah, rilisnya laporan penelitian ini berbarengan sama permintaan para orang tua dan para pembuat kebijakan ke perusahaan media sosial buat do something good for the young generation. Intinya sih they ask for help, biar anak-anak muda nggak stuck dan ngabisin terlalu banyak waktu mereka buat main medsos.
Now, tell me about the research...
Nah, penelitian ini menggunakan data survei yang melibatkan 1.391 remaja AS berusia antara 13-17 tahun juga orang tua mereka antara September-Oktober 2024. Dari responden remaja itu, 48% menyatakan kalau mereka melihat medsos punya efek yang sebagian besar buruk buat remaja seusia mereka. Adapun persentase itu naik 16% dari Survei serupa pada 2022 yang menunjukkan persentase sebesar 32%. Meanwhile, hanya 11% remaja yang menyatakan kalau media sosial bawa efek positif buat mereka.
Wow...
Meski begitu, para remaja di AS terlihat sudah mulai berusaha mengendalikan penggunaan media sosial mereka. Survei menunjukkan kalau 45% dari mereka menyadari bahwa mereka menghabiskan terlalu banyak waktu di media sosial. Sedangkan, 44% responden juga udah menyatakan bahwa mereka udah mengurangi screen time mereka dengan smartphone juga akun medsosnya.
Emang apa sih dampak yang bisa timbul?
Maybe bisa kelihatan sepele dan nggak ngaruh, tapi menurut salah satu anak laki-laki yang jadi responden penelitian, penggunaan media sosial yang berlebihan bisa jadi penyebab utama depresi pada remaja. Hal ini nggak lepas dari kecenderungan buat membiarkan pandangan dan pendapat orang lain yang nggak dikenal mempengaruhi pikiran dan mental kita. Selain itu, laporan ini juga nunjukkin kalau efek dari penggunaan media sosial berlebihan bakal beda tergantung sama jenis kelamin, ras, bahkan etnis. Misalnya, temuan kalau remaja perempuan lebih mungkin mengalami gangguan tidur, produktivitas, kesehatan mental, sampai krisi kepercayaan diri daripada remaja laki-laki.
Kok bisa gitu?
Iya gaes, mungkin tanpa sadar anak-anak terkontaminasi konten-konten yang viral yang dianggap tren. Padahal antara satu individu dengan individu lain situasi dan kondisi nggak akan pernah bisa disamakan. In link to that, pada 2021 Meta merilis dokumen internal yang menunjukkan penelitian perusahaan bahwa Instagram menimbulkan kesan buruk soal body images untuk satu dari tiga remaja perempuan. Sejak itu, Meta berupaya buat memperkenalkan kebijakan-kebijakan dan praktik baru yang bisa meningkatkan keamanan remaja. Salah satunya alat AI terbaru yang dirilis pada Senin (21/4) yang khusus dirancang buat filter para remaja yang berbohong soal usia mereka ketika mendaftar aplikasi.
Segitu ngaruhnya umur?
Iya dong, bayangin deh di media sosial segala konten bisa ditampilkan tanpa filter. Mungkin kalau kamu yang udah cukup umur bisa tahu efek dan dampak dari tayangan yang kamu saksikan. Sedangkan, buat anak-anak atau remaja yang masih belum cukup umur segala tren atau konten yang mereka lihat bisa aja diserap mentah-mentah. Hal ini nggak hanya bisa bikin mereka punya cara pandang yang salah tapi juga bikin mereka nggak berkembang sesuai usia mereka. Pastinya kita semua ingin anak-anak remaja dijaga dari risiko kejahatan internet atau konten-konten jahat yang bisa bikin pikiran terkontaminasi, kan?
Iya sih.. terus kalo di Indo gimana?
Yep, di Indonesia media sosial juga udah jadi barang yang super biasa dikonsumsi sama anak-anak dan remaja. Efeknya ya jadi kecanduan medsos, kaya Instagram atau TikTok. Saking kecanduannya, kita jadi susah banget buat lepas dari kebiasaan scrolling yang berujung bikin otak mudah kena brain rot. Tren-tren joget atau konten viral bisa dikonsumsi bebas sama anak-anak, meskipun mungkin hal itu nggak sesuai sama umur mereka. Efeknya ya mereka jadi lebih cepat dewasa daripada umurnya.
Ada studi soal fenomena itu nggak?
Yep, sebuah studi di tahun 2023 nunjukkin kalau sebagian orang mengalami masalah psikologi, termasuk kecemasan (anxiety), depresi, kesepian, Attention Deficit Hyperactivity Disoder (ADHD), juga kecanduan gara-gara too much main medsos. Selain itu, ada risiko para remaja jadi target child-grooming, mengalami gejala Fear of Missing Out (FOMO), cyber bullying, hingga masalah harga diri dan kepercayaan diri. Terlepas dari berbagai risikonya, nyatanya nggak semua sisi medsos efeknya buruk. Kalo dimanfaatkan dengan tepat, medsos bisa jadi wadah buat menyalurkan kreativitas dan kampanye positif buat para remaja yang baru tumbuh besar dan mengenal dunia.
I see. Anything else?
Yes, menurut We Are Social pada 2024, pengguna TikTok di Indonesia mencapai 73,5% dari total pengguna internet. Warga Indonesia rata-rata menghabiskan 38 jam 26 menit per bulan buat main TikTok, efeknya attention span penggunanya jadi makin singkat. Hal ini bisa bikin kita susah fokus dalam keseharian. Maybe kerasa banget kalau dulu bisa nonton video berdurasi belasan menit, sekarang udah mulai gelisah dan cepat bosan. Begitu juga dengan aktivitas non screen-time kaya baca buku, hal ini mungkin kerasa berat kalau kita udah terlalu terpapar konten-konten reels atau video yang durasinya singkat. Let's start to reduce our screen time wisely, gaes.