Who’s going backwards, but not Michael Jackson’s moonwalk dance?
Indonesia, on it’s biodiversity policy.
Yep guys, kamu pasti udah paham banget lah ya, bahwa saat ini krisis iklim bener-bener udah parah. Keanekaragaman hayati kita makin terancam, dan alih fungsi hutan terjadi di mana-mana. Nah untuk men-tackle masalah ini, hampir 200 negara berkumpul di Cali, Kolumbia untuk mengikuti COP16 CBD.
What’s that?
In a nutshell, COP16 CBD stands for Conference of Parties - Convention on Biological Diversity, yang bertujuan untuk merundingkan gimana caranya nih, membalikkan kerusakan alam dan mencegah punahnya keanekaragaman hayati. Hal ini penting banget, mengingat kerusakan alam yang terjadi udah terlalu masif akibat pertambangan, eksploitasi dan penebangan hutan, pertanian skala besar, dan berbagai proyek strategis nasional.
Go on…
Ga tanggung-tanggung, di Indonesia sendiri izin ekstraktif ini udah menguasai lebih dari 100 juta hektare daratan dan lautan di Indonesia (55,5 juta hektare di daratan dan 45,4 juta hektare di lautan). Karena udah terlalu urgent inilah, menurut Ogy Dwi Aulia dari Forest Watch Indonesia, komitmen terhadap perlindungan keanekaragaman hayati udah harus segera direalisasikan.
How?
Well, selain mengurangi secara signifikan aktivitas-aktivitas industri ekstraktif yang membahayakan, satu hal yang penting juga adalah… pemberdayaan masyarakat adat!! Yep, let’s admit bahwa masyarakat adat merupakan salah satu kekuatan penting dalam menahan perubahan iklim dan punahnya keanekaragaman hayati. Hal ini karena mereka emang biasanya tinggal di alam dan hidupnya mempraktekkan kearifan lokal yang ngga merusak alam.
Agree…
In that sense, masyarakat adat membutuhkan dukungan pemberdayaan supaya bisa terus berpartisipasi dalam menjaga kelestarian keanekaragaman hayati. Dalam hal pemberdayaan ini, Masyarakat Adat yang hadir di COP16 CBD mendorong negara-negara yang hadir untuk memastikan pengakuan penuh atas kontribusi Masyarakat Adat dalam perlindungan keanekaragaman hayati di dunia, serta mendorong ditetapkannya pembentukan badan permanen (Subsidiary Body) yang mengikat terkait pengetahuan lokal, inovasi, dan praktik-praktik tradisional dalam perlindungan keanekaragaman hayati.
Sounds good…
Ya tapi itu guys, sayangnya perwakilan delegasi Indonesia justru menolak pendirian Subsidiary Body tersebut. Padahal, lembaga ini bisa memberikan pendanaan langsung pada masyarakat adat, nelayan skala kecil, petani, hingga masyarakat lokal untuk mengelola keanekaragaman hayatinya. Menurut Eustobio Rero Renggi sebagai juru bicara dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), memang diperlukan sistem pendanaan yang transparan dan akuntabel, yang dapat diakses langsung oleh Masyarakat Adat untuk melanjutkan pekerjaan konservasi yang sangat penting.
Terus kenapa Indonesia malah nolak :(
Well, Indonesia sih idem sama statement-nya India yang bilang masyarakat adat ngga butuh pendanaan langsung. Kita juga idem-idem aja sama statement-nya pemerintah Brazil yang bilang bahwa dukungan pendanaan langsung tersebut harus bisa masuk melalui otoritas nasional (pemerintah), sehingga perlu disesuaikan dengan kebutuhan (kepentingan) nasional.
Cape deh…
Jyjyr emang cape bgt. Makanya Eustobio juga nyesel banget sama sikap delegasi pemerintah Indonesia dan mendesak pemerintah Indonesia supaya menarik pernyataan tersebut. “Kami atas nama Masyarakat Adat menyesalkan sikap dan pernyataan delegasi pemerintah Indonesia yang telah mengabaikan hak-hak konstitusional kami sebagai penyandang hak utama yang telah menjaga ekosistem dan keanekaragaman hayati secara turun temurun, jauh sebelum adanya negara,” gitu ceunah. Furthermore, AMAN juga menyarankan kepada delegasi pemerintah Indonesia untuk menyepakati usulan dari mayoritas negara-negara yang menghendaki adanya pendanaan langsung tersebut.