Yang bikin kegocek setelah setengah abad, and it's a local's favourite...
Duh, cape banget kena scam tuh. Dari scam yang literally scam, scam dari you-know-who, dan sekarang, dari restoran rumah makan yang ngga nge-disclose bahwa makanannya non-halal. Yep, kita bakal bahas sebuah resto legendaris yang baru aja ngaku bahwa produknya non-halal setelah 52 tahun berdiri. Everybody, meet: ayam goreng widuran.
Wait, WHAT?????
Yep, orang Solo pasti familiar sama ayam goreng kampung widuran. Resto yang udah berdiri sejak 1973 ini sebelumnya enggak pernah mencantumkan label non-halal di kemasan atau restorannya. Berawal dari viral dan rating buruk di Google review, barulah pihak manajemennya angkat bicara dan bikin klarifikasi soal produk dagangannya yaitu ayam goreng kampung dan kremes menggunakan minyak babi. Of course, hal ini bikin geger karena banyak pelanggan yang membeli produknya baru tahu soal ini. Akibatnya banyak respon negatif yang menilai kalau restoran ayam goreng ini enggak transparan ke konsumen.
KOK BISAAAAA...
Ya, resto yang dikenal dengan menu ayam kampungnya ini jelas enggak menimbulkan kecurigaan di kalangan pengunjung. Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim sudah terbiasa mengonsumsi ayam sebagai salah satu pilihan makanan yang udah yakin banget halal. Makanya enggak ada kepikiran kalau salah satu bahan untuk bikin ayam ini ternyata pakai bahan yang non-halal kayak minyak babi.
Ngerugiin konsumen banget...
Banget, guys. Makanya, menindaklanjuti kehebohan ini, pada Jumat (22/5), pihak manajemen restoran baru kasih klarifikasi resmi di akun instagram resmi mereka @ayamgorengwiduransolo soal kehalalan menu ayam goreng kampung andalan resto mereka. Dalam klarifikasi itu, pihak manajemen berharap masyarakat bisa kasih kesempatan buat berbenah lebih baik.
Ya tetep ae udah pembohongan publik...
IKR, apa kabar sama para pelanggan setianya selama puluhan tahun kalau udah kaya gini ceritanya? Dalam pernyataannya pada Sabtu (24/5), Kepala Kantor Kemenag Solo, Ahmad Ulin Nur Hafsun, menyatakan kalau restoran atau warung makan harus kasih label non-halal buat melindungi konsumen. Tiap konsumen berhak dapat perlindungan termasuk jaminan produk halal. Selanjutnya, pihak Kemenag Solo juga udah menyampaikan ke pihak-pihak terkait buat kasih pembinaan ke pihak yang bersangkutan.
Terus apa kata pihak yang berwenang soal ini?
Ada yang ngeles guys, yakni Kepala Dinas Perdagangan (Disdag) Kota Solo, Agus Santoso. Doi bilang bahwa label halal dan non-halal bukan ranah instansinya. "Kalau kami urusannya terkait makanan berbahaya, cuma memang harus ada transparansi kepada para pembeli," jelasnya. Agus menambahkan, terkait label halal dan non-halal di Kota Solo ada di ranah Dinas UMKM, Koperasi, dan Perindustrian. Lebih lanjut, Agus menjelaskan kalau enggak ada peraturan daerah (perda) yang mengatur soal pencantuman label halal atau non-halal untuk usaha kuliner yang ada di Solo, karena itu sepenuhnya kewenangan pengusaha. Meski begitu, pihaknya tetap meminta para pengusaha yang menjual makanan non-halal untuk mencantumkan label yang sesuai supaya masyarakat enggak terkecoh.
Are there any other comments about this?
Well, kamu harus tahu guys bahwa sertifikat halal tuh wajib buat produk yang diperdagangkan di Indonesia. Hal itu tercantum juga di UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, termasuk di dalamnya makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimia, produk biologi, produk hasil rekayasa genetik, sampai barang gunaan yang dimanfaatkan sama masyarakat. Nah, menurut Sekertaris Utama Badan Penyelenggara Jaminan Produk Jalal (BPJPH) Muhammad Aqil Irham, produk yang mengandung bahan yang secara jelas enggak halal kayak daging babi atau minuman keras, enggak wajib mengurus sertifikat halal. Meski enggak harus mengurus sertifikasi halal, produk non-halal tetap boleh beredar di pasaran dengan syarat harus ada label jelasnya.
I see. Anything else?
Yes, menanggapi viralnya kasus restoran ayam goreng non-halal ini, pegiat halal dan pendiri Halal Corner, Aisha Maharani, menyatakan kalau kasus ini menunjukkan pentingnya transparansi informasi soal kandungan makanan di negara mayoritas Muslim seperti Indonesia. Well, Aisha menyoroti kalau label halal bukan sekedar simbol tapi bagian dari perlindungan konsumen atas keyakinan mereka. Lebih lanjut, Aisha mengimbau ke masyarakat Muslim supaya teliti dalam membeli dan mengonsumsi makanan dari tempat makan yang belum punya sertifikat halal resmi dari BPJH. Selain itu, pemerintah harusnya bisa lebih tegas ke pelaku usaha terkait marketing produk yang rawan menyesatkan konsumen.