Alih Fungsi Lahan di Puncak Bogor

Admin
UTC
55 kali dilihat
1 kali dibagikan

First stop: The (main) cause of disaster...

Alih fungsi lahan.
Guys, pernah kepikiran nggak sih kenapa belakangan banyak bencana alam yang terjadi di Indonesia? Kalau mau diperhatikan seksama, bencana alam itu warning, ngingetin kalo manusia sudah lupa menjaga alam di sekitarnya. Kayak misalnya melakukan alih fungsi lahan besar-besaran tanpa memikirkan efeknya ke lingkungan sekitar.

Tell me.
Well, paling deket nih, kamu pasti ngeh bahwa udah sejak lama, terjadi perubahan alih fungsi lahan di Puncak, Bogor. Yep, Puncak yang dataran tinggi dan harusnya jadi tempat resapan air justru dijejali sama villa, hotel dan berbagai lokasi wisata, sampe ga heran, banjir terjadi di mana-mana, sampe ke Jakarta. 

Go on...

Nah belakangan, fenomena ini jadi sorotan setelah Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, melakukan sidak dan membongkar taman bermain Hibisc Fantasy Puncak pada Kamis (6/3). Sebelum resmi dibuka sebagai taman bermain pada Desember 2024, wilayah Hibisc Fantasy yang dikelola PT Jasa dan Kepariwisataan (PT Jaswita) merupakan hamparan kebun teh seluas 2,1 hektare. Adapun pembongkaran di kawasan wisata ini dilakukan karena dari 35 bangunan yang didirikan di kawasan wisata itu, hanya 14 di antaranya yang punya izin resmi dari Pemkab Bogor.

That's it?
Engga. Selain Hibisc Fantasy Park, ada 13 lokasi lain yang juga disegel, kayak Eiger Adventure Land, pabrik teh PT Sumber Sari Bumi Pakuan, dan bangunan yang ada di kawasan Agrowisata Gunung Mas di bawah naungan PTPN I Regional 2. Dalam proses penyegelan ini kemudian diketahui bahwa ada total 33 lokasi di kawasan Puncak yang terindikasi menyalahgunakan fungsi lahan lewat 18 kerjasama operasional (KSO) dengan PTPN I regional 2. Diketahui kalau izin lingkungan yang dibuat untuk mendirikan bangunan-bangunan itu nggak sesuai sama pengerjaan proyek yang dijalankan.

Kok bisa dapet izin???
That's the point! Kalo menurut pengakuan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Penelitian, dan Pengembangan (Bappedalitbang) Kabupaten Bogor, emang ada Perda Nomor 1/2024 dan Perda 11/2016 yang "melegalkan" pemanfaatan ruang perkebunan yang termasuk kawasan budi daya. Lebih jauh, menurut keterangan Ketua Tim Pengendalian Evaluasi dan Sinergitas Infrastruktur Wilayah Bappedalitbang Kabupaten Bogor Septyo Pramudito, beleid dibuat melalui konsultasi publik dan rekomendasi dari provinsi. Meski sudah ada aturan tertulis yang mengikat, dalam prakteknya tetap banyak pelanggaran lingkungan yang seolah dibiarin sama pemerintah.

Rusak deh lingkungan rusak....
True. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) juga menyoroti bahwa faktor alam bukan jadi satu-satunya penyebab banjir besar di Jabodetabek. Yep, paling besar justru faktor manusia, guys. Menurut Direktur Eksekutif WALHI Jabar Wahyudin Iwang, terjadinya deforestasi dan alih fungsi lahan di Puncak terjadi di kawasan perkebunan di bawah kelola PTPN VIII. Selama lima tahun ke belakang, Walhi menduga hampir 45% kerusakan alam meningkat di kawasan Puncak Bogor. Lebih jauh, diduga banyak pengembang yang sengaja mengabaikan analisis dampak lingkungan (AMDAL) demi mengejar keuntungan jangka pendek. Tak hanya itu, Walhi juga menduga ada kesengajaan pemerintah untuk memberikan izin usaha di kawasan puncak demi meningkatkan pendapatan daerah.

Efeknya gimana?
Ya, kondisi alam di Puncak makin rusak dari tahun ke tahun. Kondisi lingkungan tersebut memicu terjadinya banjir besar yang menimpa kawasan Jabodetabek. Dalam keterangannya pada Kamis (13/3), pengampanye hutan dari Forest Watch Indonesia (FWI), Tsabit Khairul Auni bilang bahwa banjir besar di Jabodetabek awal bulan ini dipicu kondisi hulu daerah aliran sungai (DAS) Kali Bekasi, Sungai Cisadane, dan Sungai Ciliwung. Diketahui dari data penginderaan jauh dan pengolahan data spasial bahwa sejak 2017-2023 terjadi penebangan hutan seluas 2.300 hektare di bagian hulu sungai. FYI, area seluas itu setara sama 3.285 kali lapangan sepakbola profesional, bisa bayangin seluas apa?

Ngaruh banget, ya?
Bangettt. Penebangan hutan atau deforestasi ini yang memicu hilangnya fungsi hutan buat nyerap dan nahan air dalam tanah, gaes. Terlalu banyak gedung sama bangunan yang harusnya jadi ruang buat pepohonan nampung air hujan menyebabkan air mengalir cepat di permukaan tanah. Situasi pohon-pohon di kawasan Puncak yang telah banyak ditebangi juga membuat hutan jadi rusak. Air hujan jadi nggak bisa meresap ke dalam tanah dan akhirnya mengalir deras dalam bentuk banjir yang jangkauannya sampai Jakarta dan Bekasi.

Regulasinya selama ini kayak apa?
Menurut Budayawan Bogor Yudi Wiguna, Presiden RI dari era Presiden Soekarno sampai Jokowi pernah ngeluarin banyak kebijakan buat menata kawasan Puncak, dari penertiban pembangunan buat tujuan wisata sampai merencanakan tata ruang kawasan. Pada era Presiden Soeharto misalnya mulai dikenal kawasan hutan lindung yang fungsinya buat mencegah erosi dan banjir. Meski begitu, pada kenyataannya aturan baik itu minim implementasi di lapangan. Seperti yang sudah-sudah, penegakan dan penertiban hukum cenderung tajam ke rakyat kecil tapi lembek ke para pengusaha.

Terus kondisinya kaya apa sekarang?
Memprihatinkan, gaes. Lewat unggahannya di akun Instagram, Dedi Mulyadi bilang kalau lebih dari 1.000 dari total 1.623 hektare luas lahan PTPN I Regional 2 udah beralih fungsi. Dari situ diketahui kalau alih fungsi lahan PTPN I Regional 2 mencapai 61,6%, jauh di atas ketentuan Perda 1/2024 yang menetapkan 6% penggunaan lahan yang diperbolehkan.

I see. Anything else?
Yes, setelah Hibisc Fantasy Puncak dibongkar, setidaknya 200 pekerja Hibisc Fantasy Puncak terdampak kehilangan mata pencaharian. Sekitar 190 orang di antaranya adalah warga lokal dan sisanya merupakan warga dari luar Jabar. Untuk itu, Pemprov Jabar sudah menyiapkan solusi dengan menawarkan pekerjaan baru seperti penanam dan pemelihara 50.000 pohon untuk reboisasi lahan bekas kawasan wisata itu. Sedangkan untuk pekerja dengan latar belakang pendidikan tinggi, Pemprov Jabar bakal menghubungkan mereka dengan perusahaan-perusahaan yang akan membuka loker dalam waktu dekat.  

© 2025 Catch Me Up!. All Rights Reserved.